Starbucks baru-baru ini mengumumkan rencana besar untuk melakukan restrukturisasi bisnis yang diperkirakan senilai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 16,7 triliun. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapinya, termasuk penutupan sejumlah gerai di Amerika Utara dan pengurangan jumlah karyawan yang signifikan.
Di tengah persaingan yang semakin ketat dan perubahan perilaku konsumen, perusahaan berusaha untuk kembali fokus pada inti bisnisnya. Rencana ini berfungsi sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar yang berubah, sambil memperkuat posisi mereka di industri kopi global.
Dalam laporan kepada otoritas berwenang, Starbucks mengindikasikan bahwa mereka mengantisipasi penurunan jumlah gerai sebanyak 1% pada tahun fiskal 2025. Ini mencakup penutupan sekitar 500 gerai di seluruh Amerika Utara, yang menandakan sebuah perubahan signifikan dalam strategi operasional mereka.
Rencana Penutupan Gerai dan Dampaknya Terhadap Karyawan
Starbucks telah memutuskan untuk menutup beberapa gerai dan memberhentikan 900 karyawan non-ritel pada akhir bulan ini. Keputusan ini didorong oleh keinginan untuk mengurangi biaya dan mengoptimalkan operasi di tempat-tempat yang dianggap kurang menguntungkan.
Perusahaan memperkirakan bahwa sekitar 90% biaya restrukturisasi yang dianggarkan akan dialokasikan untuk operasi di Amerika Utara. Ini juga mencakup biaya pemutusan hubungan kerja, yang diperkirakan mencapai US$ 150 juta, serta biaya lainnya seiring penutupan gerai.
Dalam pengumuman tersebut, Starbucks menekankan perlunya meningkatkan efisiensi dan memahami kebutuhan pelanggan. Penyesuaian ini diharapkan dapat mendatangkan hasil positif dalam jangka panjang bagi perusahaan dan para karyawannya.
Strategi Masa Depan Starbucks di Tengah Persaingan yang Ketat
Starbucks berencana untuk mengeksplorasi investasi yang lebih dekat dengan kedai kopi dan pelanggannya, guna merespons penurunan penjualan yang telah berkelanjutan. Dalam enam kuartal terakhir, mereka mencatat adanya penurunan dalam penjualan gerai yang sama, yang mencerminkan tantangan yang mereka hadapi di pasar.
Perusahaan berkomitmen untuk membangun kembali hubungannya dengan pelanggan dengan menawarkan pengalaman yang lebih baik di kedai kopi mereka. Mereka berencana untuk melakukan penyesuaian besar pada desain kafe dan merenovasi lokasi yang ada agar bisa kembali menjadi tujuan bagi pelanggan.
Menyusul pengumuman besar ini, saham Starbucks mengalami penurunan kurang dari 1% di pasar saham. Ini adalah pertanda bahwa investor mungkin merasa was-was terhadap perubahan besar dalam perusahaan dan dampaknya terhadap laba masa depan.
Inisiatif Ketenagakerjaan dan Persepsi Karyawan Terhadap Perubahan
Pada awal tahun, Starbucks telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 1.100 pekerja. Ini menjadi gelombang kedua PHK selama kepemimpinan CEO Brian Niccol, menunjukkan adanya penyesuaian yang sedang berlangsung dalam struktur perusahaan.
Starbucks Workers United, serikat pekerja yang mewakili 12.000 barista, mengungkapkan keprihatinan atas penutupan gerai dan dampaknya terhadap karyawan. Mereka berencana untuk melakukan negosiasi demi memastikan pekerja mendapatkan hak-hak mereka dan membantu mereka menemukan pekerjaan lain di gerai yang tersisa.
Sebelum restrukturisasi ini, Starbucks meluncurkan inisiatif baru untuk meningkatkan standar ketenagakerjaan. Melalui “Green Apron Service,” mereka menginvestasikan lebih dari US$ 500 juta untuk memperbaiki jam kerja dan kondisi di kafe.