Kasus yang melibatkan PT Investree Radika Jaya (Investree) menciptakan gelombang kegemparan dalam sektor fintech lending di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami masyarakat akibat dugaan pengelolaan dana ilegal oleh perusahaan ini mencapai Rp 2,7 triliun, sebuah angka yang menunjukkan besarnya dampak yang ditimbulkan.
Adrian Gunadi, mantan Direktur Utama Investree, kini berada dalam sorotan setelah ditangkap oleh OJK dan kepolisian. Ia sebelumnya pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mendapat red notice internasional karena dugaan keterlibatannya dalam penghimpunan dana masyarakat tanpa izin.
Ketegangan semakin meningkat ketika Adrian muncul di hadapan media dengan rompi tahanan oranye. Setelah sesi pers tersebut, dia diangkut kembali oleh petugas, sementara OJK melanjutkan konferensi pers di Gedung 600, Tangerang, Banten, pada Jumat (26/9/2025).
Pengungkapan Kasus Investree dan Dampaknya bagi Sektor Fintech
Dalam konferensi pers, Deputi Komisioner Bidang Hukum dan Pendidikan OJK, Yuliana, mengkonfirmasi penangkapan Adrian. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum dalam memastikan bahwa pelaku usaha di sektor fintech mematuhi ketentuan perizinan dan transparansi pengelolaan dana.
Kasus ini menjadi pengingat bagi industri fintech untuk beroperasi secara sah, sehingga masyarakat tidak menjadi korban dari praktik ilegal. OJK dan Kejaksaan Agung RI kini bekerja sama untuk menangani perkara ini secara tuntas dan adil.
Penyidik OJK mengaplikasikan berbagai pasal dalam menjerat Adrian, termasuk Pasal 46 Juncto Pasal 16 Ayat 1 dan 4 Undang-Undang Perbankan. Ia bisa menghadapi ancaman pidana penjara selama 5 hingga 10 tahun atas pelanggaran yang dilakukan.
Profil dan Perkembangan Adrian Gunadi Setelah Penangkapan
Sebelum ditangkap, terbongkar bahwa Adrian Gunadi telah menjabat posisi baru di perusahaan asing. Ia menjadi CEO di JTA Holding Qatar pada bulan Juli 2025, hanya beberapa bulan sebelum penangkapannya.
Adrian diakui sebagai sosok yang berpengalaman dalam dunia kewirausahaan dan teknologi keuangan, dan ini menjadi ironi mengingat keterlibatannya dalam kasus ilegal. Di laman resmi JTA Holding, ia digambarkan sebagai operator global yang memimpin pertumbuhan teknologi keuangan di Asia Tenggara.
Selama menjadi CEO JTA Holding, Adrian terlibat dalam berbagai proyek yang menyasar kemitraan dengan institusi keuangan di Timur Tengah. Namun, citranya kini tercoreng akibat skandal Investree yang mengekspos ketidakpatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Relevansi Kasus Ini dalam Konteks Regulasi Fintech di Indonesia
Kasus Investree adalah contoh jelas bagaimana pentingnya regulasi yang ketat dalam industri fintech. Tanpa adanya pengawasan yang memadai, masyarakat rentan menjadi korban praktik ilegal yang bisa merugikan banyak pihak.
Pemerintah dan OJK kini dituntut untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan peraturan yang ada. Langkah-langkah preventif perlu diambil agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.
Regulasi yang jelas dan transparan akan melindungi masyarakat sekaligus menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dalam sektor fintech. Kolaborasi antara pemerintah, otoritas keuangan, dan pelaku industri menjadi kunci untuk mencapai tujuan ini.