Tahun ini, KFC Indonesia mengalami masa sulit dengan penutupan sejumlah gerai yang disertai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan. Hal ini jelas menjadi kabar yang mengejutkan bagi banyak pihak, terutama bagi para karyawan dan pelanggan setia KFC.
Data terbaru yang diperoleh menunjukkan bahwa sampai bulan September 2025, KFC telah menutup 19 gerai dan merumahkan sekitar 400 karyawan. Langkah ini diambil manajemen sebagai respons terhadap kinerja keuangan yang terus menurun.
Kebijakan penutupan gerai ini bukanlah berita baru, mengingat pada tahun sebelumnya, KFC juga telah menutup 55 gerai. Dengan penutupan terbaru ini, total gerai yang dikelola KFC saat ini menjadi 698 gerai.
Kondisi Keuangan yang Mendorong Penutupan Gerai
Kebijakan KFC untuk menutup sejumlah gerai dipicu oleh kondisi keuangan yang kurang menguntungkan. Menurut laporan keuangan yang dipublikasikan, perusahaan ini terakhir kali mencatatkan keuntungan pada tahun 2019 dan mengalami kerugian yang signifikan hingga tahun 2025.
Per 30 Juni 2025, kerugian bersih perusahaan tercatat telah berkurang 60,2% year on year, menjadi Rp138,75 miliar. Sebelumnya, di tahun 2024, kerugian total mencapai Rp348,83 miliar, yang menunjukkan perbaikan yang masih belum cukup.
Pendapatan perusahaan juga menunjukkan penurunan, dengan total pendapatan yang tercatat sebesar Rp2,40 triliun, turun 3,12% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp2,48 triliun. penurunan ini menjadi perhatian, terutama dari segmen pihak ketiga makanan dan minuman.
Strategi Perusahaan dalam Menghadapi Krisis
Di tengah upaya memperbaiki kondisi keuangan, KFC juga melakukan berbagai strategi korporasi. Salah satunya adalah meminta suntikan modal dari pemegang saham untuk membantu memperbaiki situasi finansial yang dialami saat ini.
Grup Salim, melalui salah satu entitasnya, melakukan suntikan modal senilai Rp40 miliar kepada PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST). Suntikan ini dilakukan dalam rangka Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD), yang diharapkan dapat menggenjot permodalan serta mendukung pengembangan perusahaan ke depan.
Manajemen KFC menyatakan bahwa tindakan ini diambil sebagai langkah penting untuk memperbaiki modal kerja yang saat ini dalam kondisi negatif. Dengan liabilitas yang melebihi 80% dari total aset, suntikan modal ini diharapkan menjadi langkah awal untuk perbaikan yang lebih besar.
Pemegang Saham dan Dampaknya terhadap Perusahaan
Per 31 Agustus 2025, pemegang manfaat terakhir emiten KFC adalah Elisabeth Gelael melalui PT Gelael Pratama yang menguasai 41,18% saham. Di sisi lain, Salim melalui PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) memiliki 37,51% saham dalam perusahaan ini.
Setelah penerbitan saham baru, kendali pemegang saham lain akan terdilusi, termasuk BBH Luxembourg S/A Fidelity FD Sicav yang sahamnya turun dari 7,9% menjadi 6,5%. Ini menjadi salah satu dinamika penting dalam perubahan struktur kepemilikan KFC.
Hubungan antara pemegang saham dengan manajemen pun menjadi kunci dalam keberlangsungan perusahaan. Ketika pemegang saham besar melakukan suntikan modal, hal tersebut juga mempengaruhi kepercayaan investor dan pelanggan terhadap brand KFC.
Transformasi dan Perubahan Strategis di Masa Depan
Selanjutnya, KFC perlu melakukan transformasi yang lebih mendalam agar dapat bersaing dengan kompetitor di industri yang semakin ketat ini. Mengingat tingkat persaingan yang tinggi, inovasi dalam produk dan layanan menjadi sangat penting untuk menarik kembali pelanggan.
Selain itu, KFC juga harus mengevaluasi kembali strategi pemasaran dan penjualannya. Melihat data penjualan yang menurun, perusahaan bisa memanfaatkan platform digital untuk menjangkau lebih banyak konsumen, terutama di tengah tren online yang semakin berkembang.
Dengan berbagai tantangan yang ada, masa depan KFC di Indonesia masih memiliki peluang, asalkan strategi yang diterapkan tepat dan mampu menjawab kebutuhan konsumen dengan baik. Keberhasilan perusahaan tergantung pada seberapa cepat dan efektif ia merespons perubahan di pasar dan kebutuhan pelanggan.