Jakarta, CNBC Indonesia – JPMorgan Chase & Co. mulai mempersiapkan kebijakan baru yang memungkinkan para klien institusional untuk menggunakan Bitcoin dan Ethereum sebagai agunan dalam pinjaman. Dengan langkah ini, JPMorgan menandai integrasi teknik yang lebih langsung antara aset kripto dan sistem kredit di Wall Street, yang menunjukkan perubahan signifikan dalam cara institusi keuangan mengelola risiko dan inovasi.
Program ini direncanakan untuk diluncurkan pada akhir 2025 dan akan melibatkan model kustodian pihak ketiga untuk menyimpan token yang digunakan sebagai agunan. Dalam perkembangan ini, saham JPMorgan mengalami kenaikan tipis sebesar 0,18% di level US$ 294,93 dalam perdagangan pra-pasar, menunjukkan minat investor terhadap inovasi yang ditawarkan perusahaan.
Sesuai laporan yang beredar, mekanisme kerja yang diusulkan memungkinkan klien untuk meletakkan aset kripto di kustodian yang telah disetujui, untuk mendukung pinjaman terstruktur atau jalur kredit. Inisiatif ini juga mencerminkan perubahan pendekatan JPMorgan terhadap aset digital, dengan memperluas basis kebijakan yang telah ada sebelumnya.
Pentingnya Aset Kripto dalam Sistem Keuangan Modern
Perubahan kebijakan ini tidak hanya menunjukkan adopsi Bitcoin dan Ethereum di kalangan bank besar, tetapi juga menggambarkan evolusi pemikiran industri keuangan terhadap aset digital. Sebelumnya, institusi seperti JPMorgan dikenal skeptis terhadap kripto, namun mereka kini bergeser untuk mengakui potensi nilai yang dapat ditawarkan oleh aset-aset tersebut.
Bitcoin dan Ethereum kini dapat dipandang sebagai bagian dari ekosistem agunan yang lebih luas, setara dengan instrumen investasi tradisional seperti obligasi pemerintah dan saham. Tentu saja, hal ini juga membawa risiko dan volatilitas yang lebih tinggi, menciptakan tantangan terbarukan bagi manajemen risiko bank.
Samuel Patt, pendiri metaprotokol Bitcoin OP_NET, menyampaikan pandangannya bahwa semakin banyak lembaga keuangan mulai mengintegrasikan Bitcoin, semakin mereka perlu memahami dan mematuhi regulasi yang relevan. Dengan aset kripto yang diperdagangkan secara 24 jam, tantangan untuk mengelola eksposur kredit menjadi semakin kompleks.
Risiko dan Tantangan dalam Mengintegrasikan Aset Digital
Memasukkan aset kripto ke dalam sistem keuangan tradisional memunculkan banyak pertanyaan tentang risiko yang terkait. Para ahli di bidang ini menegaskan pentingnya pemodelan real-time untuk mengatasi volatilitas intraday, likuiditas bursa, serta solvabilitas kustodian yang terlibat dalam proses tersebut.
Para pengambil keputusan di lembaga keuangan harus memikirkan kembali kerangka kerja mereka mengenai agunan kripto. Margin dinamis dan asuransi risiko kustodian menjadi hal yang wajib dipertimbangkan, bukan sekadar pertimbangan tambahan belakangan.
Dengan memperkenalkan aset digital sebagai agunan, bank terpaksa menghadapi sejumlah tantangan baru. Ini termasuk penyesuaian standar pengukuran risiko yang mungkin berbeda dengan pengukuran yang digunakan untuk barang-barang tradisional, seperti obligasi atau ekuitas.
Integrasi Aset Digital oleh Bank-Bank Besar di AS
Tindakan JPMorgan juga mencerminkan tren yang lebih luas di kalangan bank-bank lain di AS yang bergerak untuk lebih mengintegrasikan aset digital dalam layanan pinjaman dan pengelolaan aset mereka. Ini terjadi selama bank-bank berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pedoman federal mengenai kripto.
Misalnya, sebelum pengenalan Undang-Undang GENIUS pada Juli, bank besar AS seperti BNY Mellon dan Goldman Sachs telah bekerja sama untuk meluncurkan produk pasar uang berbasis token. Langkah ini mendemonstrasikan kemampuan mereka dalam menyimpan dan menyelesaikan transaksi aset digital, yang telah mereka kembangkan selama beberapa waktu.
Selanjutnya, Morgan Stanley berencana untuk memberikan akses kepada klien ritel untuk berdagang di aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum, mulai kuartal kedua tahun depan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas akses investasi crypto ke segmen yang lebih luas, termasuk akun pensiun.
