Pada hari Senin, 27 Oktober 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan drastis lebih dari 3,5 persen selama sesi perdagangan pertama. Penurunan ini terjadi dalam konteks pasar yang sangat tidak stabil, di mana kapitalisasi pasar kehilangan sekitar Rp 639 triliun dalam waktu yang sangat singkat.
Sumber-sumber yang menganalisis pergerakan pasar mencatat bahwa lebih dari 500 saham mengalami penurunan. Saat itu, IHSG bergerak dalam rentang antara 7.959,17 hingga 8.354,67, dengan semua sektor saham berada di zona merah.
Sejumlah saham besar yang mendominasi pasar, terutama dari konglomerat, memberikan sumbangan besar terhadap penurunan IHSG. Emiten Sinar Mas, Dian Swastatika Sentosa (DSSA), menjadi salah satu penyebab utama dengan kontribusi sebesar -30,12 indeks poin terhadap IHSG.
Sementara itu, saham-saham milik Prajogo Pangestu juga memberikan dampak signifikan, dengan total penurunan mencapai -61,78 indeks poin. Hal ini menegaskan bahwa pergerakan dari saham-saham ini sangat berpengaruh terhadap kinerja IHSG secara keseluruhan.
Pada hari yang sama, kondisi saham BREN yang terdeteksi menyentuh level 7.800, berkontribusi -29,5 indeks poin, sementara BRPT mengalami penurunan dan menyentuh angka 3.170 dengan pengaruh -21,2 indeks poin. Ini menunjukkan bahwa kehati-hatian investor sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan pasar yang cepat ini.
Dampak dari Isu Perubahan Perhitungan MSCI pada IHSG
Sejumlah analis pasar menjelaskan bahwa penurunan tajam ini berkaitan dengan isu potensial tentang perubahan perhitungan MSCI yang diantisipasi akan berdampak pada saham-saham besar. Menurut Ekky Topan, analis dari Infovesta Kapital Advisori, kabar tersebut membuat banyak investor melakukan panic selling tanpa menunggu klarifikasi resmi dari MSCI.
MSCI dijadwalkan untuk mengumumkan perubahan terbaru pada 5 November 2025, dan akan mulai berlaku efektif pada 25 November 2025. Ini menciptakan kekhawatiran di kalangan investor, mendorong mereka untuk menjual saham-saham besar demi menghindari kerugian lebih lanjut.
Dalam konteks ini, Lukman Leong dari Doo Financial Futures menambahkan bahwa pergeseran dari saham konglomerat menuju emiten-emiten blue chip semakin terasa. Meskipun ada kemungkinan keluar dari saham-saham konglomerat, investor masih mencari peluang di indeks yang lebih stabil.
Dalam posisi saat ini, terlihat bahwa ketidakpastian yang melanda pasar dapat menyebabkan frustasi dan keresahan, terlebih dengan adanya potensi penyesuaian di level indeks yang lebih tinggi. Namun, hal ini juga membuka peluang bagi emiten blue chip yang memiliki fundamental yang lebih kuat.
Perbandingan dengan Bursa Saham Asia-Pasifik
Menarik untuk dicatat bahwa meskipun IHSG turun tajam, bursa saham di Asia-Pasifik secara umum menunjukkan pergerakan yang berlawanan. Di Jepang, indeks saham Nikkei 225 mencapai level tertinggi baru dengan menembus angka 50.000 untuk pertama kalinya, didorong oleh optimisme yang muncul dari kemajuan dalam negosiasi dagang antara AS dan Tiongkok.
Kenaikan signifikan dikonfirmasi dengan indeks juga naik lebih dari 2%, menghasilkan momentum yang kuat di bursa Asia. Di sisi lain, Topix mencatatkan kenaikan sekitar 1,61%, mengindikasikan bahwa pelaku pasar tetap optimis meskipun IHSG mengalami penurunan tajam.
Di Korea Selatan, Kospi turut mencatat kenaikan sebesar 1,72%, dan bursa Shanghai mengalami kenaikan sebesar 1,04%, menunjukkan bahwa meskipun pasar Indonesia minus, investor lain di regional masih berabsorpsi pada sentimen positif di pasar global. Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kinerja bursa yang lebih besar di Asia dan situasi IHSG yang kurang stabil.
Hang Seng di Hong Kong juga menguat, melesat lebih dari 1% menuju level 26.427,34. Pergerakan ini mencerminkan bagaimana investasi kembali mengalir ke indeks yang lebih stabil di kawasan Asia-Pasifik, sementara IHSG justru bergerak ke arah yang berlawanan.
Peluang dan Tantangan ke Depan bagi Investor di Indonesia
Dalam kondisi pasar yang bergejolak ini, tantangan bagi investor Indonesia adalah untuk tetap tenang dan terinformasi. Pergerakan yang tampak mengkhawatirkan ini memberikan peluang bagi mereka untuk membeli ketika harga saham sedang rendah, terutama pada saham-saham yang memiliki fundamental yang kuat.
Sementara banyak investor yang masih enggan untuk masuk pasar, terdapat kesempatan untuk mengambil posisi yang lebih baik menjelang kenaikan kembali pada indeks lainnya. Pelaku pasar perlu mencerna setiap berita dan memfilter informasi agar tidak terjebak dalam kepanikan yang tidak beralasan.
Pergeseran ini juga menuntut investor untuk lebih berfokus pada analisis mendalam terhadap saham-saham blue chip yang menjadi prioritas mereka. Melihat ke depan, potensi untuk mendapatkan keuntungan dari pergeseran investasi ini sangatlah besar bagi mereka yang tahu kapan dan di mana harus berinvestasi.
Dengan memahami dinamika pasar serta mengikuti perkembangan terbaru di kancah internasional, investor dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih terinformasi, alih-alih bertindak berdasarkan kepanikan dalam jangka pendek. Ini menjadi langkah penting untuk memitigasi risiko dan mengoptimalkan keuntungan dalam jangka panjang.
