Wacana legalisasi kasino di Indonesia menjadi sorotan kembali setelah seorang anggota DPR mengemukakan pendapat bahwa praktik ini berpotensi menjadi sumber penerimaan baru bagi negara. Ia menilai langkah tersebut mirip dengan pendekatan yang diterapkan oleh beberapa negara lain yang telah lebih dulu membuka kasino secara resmi demi meningkatkan pendapatan fiskal.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar ini, Galih Kartasasmita, berpendapat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan model yang diterapkan oleh negara-negara Arab. Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut dapat menciptakan cara berpikir baru dalam menemukan sumber penerimaan negara yang tidak bergantung pada pajak.
“Contoh, UEA sudah berani menjalankan kasino, dan negara-negara Arab pun bisa menerapkan hal yang sama, menjadi inisiatif yang patut dicontoh,” ucapnya dalam rapat kerja dengan sejumlah pejabat kementerian keuangan. Dalam forum tersebut, kasino diusulkan sebagai salah satu alternatif untuk memperluas basis penerimaan negara.
Sejarah Legalisasi Kasino di Indonesia dan Faktor Pembukaannya
Sejarah pembukaan kasino di Indonesia bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1967, kasino pertama kali diizinkan beroperasi di Jakarta dan memberi kontribusi signifikan bagi pendapatan pemerintah. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh tantangan dalam membangun infrastruktur ibu kota yang saat itu kekurangan dana.
Pemerintah saat itu, yang dipimpin oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mencari cara untuk meningkatkan anggaran. Ia menyadari bahwa legalisasi perjudian bisa menjadi solusi untuk mengalirkan dana untuk proyek-proyek besar yang dibutuhkan. Selain itu, perjudian ilegal yang terus berlangsung sebelumnya tidak memberikan manfaat kepada pemerintah.
Pernyataan tersebut mengundang perhatian publik saat itu, terutama ketika pemerintah ingin melegalkan perjudian untuk meningkatkan pendapatan dari sektor non-pajak. Pada 21 September 1967, Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta mengizinkan perjudian di kawasan tertentu, di mana uang hasil judi diharapkan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.
Pengaruh Kasino terhadap Perekonomian dan Pembangunan Jakarta
Pembukaan kasino di Jakarta membawa perubahan signifikan dalam perekonomian lokal. Selama periode ini, pemerintah mencatat bahwa dana dari perjudian ilegal bisa mencapai Rp300 juta per tahun, tetapi tidak pernah masuk ke kas negara. Akibatnya, dengan melegalkan praktik ini, pemerintah berharap bisa menarik dana untuk membangun infrastruktur penting seperti jembatan dan rumah sakit.
Kasino pertama di Petak Sembilan, Glodok, menjadi pusat perhatian, dan pemerintah berkolaborasi dengan seorang wirausahawan asal China untuk menjalankannya. Meski hanya diperuntukkan bagi warga negara China yang tinggal di Indonesia, kasino ini mampu menarik pengunjung dari berbagai daerah, memberikan kontribusi pajak yang signifikan kepada pemerintah bulanan.
Berdasarkan laporan, kasino ini mampu menyetor pajak sebesar Rp25 juta setiap bulan, yang setara dengan jumlah yang cukup besar pada masa itu. Dengan nominal tersebut, dampak positif bagi keuangan publik terlihat jelas, dan beberapa proyek pembangunan dapat dibiayai langsung dari hasil perjudian.
Dampak Jangka Panjang dari Legalisasi Kasino dan Penutupan
Efek dari legalisasi kasino di Jakarta berlangsung selama satu dekade, di mana anggaran pemerintah daerah meningkat pesat. Dari yang awalnya hanya puluhan juta, anggaran tersebut meloncat hingga mencapai Rp122 miliar pada tahun 1977, yang menunjukkan betapa signifikan kontribusi kasino bagi pembangunan kota.
Namun, pada akhirnya, kebijakan ini berakhir ketika pemerintah pusat melarang praktik perjudian pada tahun 1974 melalui UU No.7 tahun 1974. Hal ini menandai berakhirnya era perjudian legal di Jakarta dan membawa dampak besar pada pendapatan daerah yang sebelumnya diperoleh dari sektor tersebut.
Keputusan untuk menutup kasino mengundang berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama yang merasakan manfaat dari pembangunan yang didanai oleh hasil perjudian. Di satu sisi, penutupan ini bertujuan untuk menjaga norma moral masyarakat, tetapi di sisi lain, juga mengakibatkan hilangnya penerimaan yang cukup signifikan dari sektor non-pajak.
