PT Diamond Citra Propertindo Tbk, atau yang dikenal dengan singkatan DADA, baru-baru ini menjadi sorotan publik akibat informasi yang mengaburkan posisi sebenarnya dari kantor pusat perusahaan tersebut. Klaim yang beredar menyebutkan bahwa kantor DADA terletak di warung kelontong, sebuah informasi yang langsung dibantah oleh pihak manajemen.
Direktur perusahaan, Bayu Setiawan, menegaskan bahwa kantor sering dianggap sebagai tempat usaha yang tidak lazim dalam konteks bisnis. Ia menjelaskan bahwa lokasi sebenarnya berada di area komersial yang terintegrasi dengan proyek yang dikelola oleh DADA, di Dave Apartment, Depok, Jawa Barat.
Dalam upaya transparansi, manajemen juga menerapkan sistem keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, di mana mereka menyertakan foto terkini dari kantor mereka untuk mengonfirmasi status tersebut. Hal ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap informasi yang akurat serta responsif terhadap rumor yang beredar.
Dampak Informasi Hoaks pada Saham DADA
Isu mengenai lokasi kantor DADA menambah warna pada dinamika pasar saham perusahaan. Di tengah pesatnya rumor bahwa DADA akan diakuisisi oleh The Vanguard Group, sebuah perusahaan investasi besar asal Amerika Serikat, saham DADA mengalami lonjakan harga yang cukup signifikan. Kenaikan ini mendorong minat investor untuk berinvestasi.
Pengaruh rumor ini tidak dapat diabaikan. Saham DADA meroket dari level Rp9 di awal tahun hingga mencapai Rp178 pada November 2025. Lonjakan yang sangat dramatis ini menunjukkan reaksi pasar yang sangat dipengaruhi oleh ekspektasi yang tidak selalu berbasis fakta.
Meski demikian, di balik naiknya harga saham, terdapat risiko bagi pemegang saham, khususnya investor ritel. Akibat dari perubahan komposisi pemegang saham, para pengendali perusahaan mulai mengurangi jumlah kepemilikan mereka, yang dapat menimbulkan dampak negatif ke depannya.
Perubahan Komposisi Pemegang Saham DADA
Dari laporan yang diterima hingga akhir bulan Juli 2025, PT Karya Permata Inovasi Indonesia memegang lebih dari 66% saham DADA. Namun, dengan perubahan harga saham yang drastis, proporsi ini mengalami penurunan yang signifikan. Pada laporan terakhir, jumlah kepemilikan saham yang dipegang oleh pihak pengendali menyusut menjadi kurang dari 30%.
Investor ritel kini mendominasi kepemilikan saham DADA, dengan total mencapai 70,4%. Hal ini menunjukkan pergeseran yang cukup mencolok dalam kepemilikan saham dan merupakan sinyal yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar. Ketidakstabilan yang dihasilkan bisa menjadi bumerang bagi investor yang tidak mempertimbangkan risiko dengan matang.
Situasi ini menggambarkan bagaimana rumor dapat menghasilkan volatilitas yang tidak terduga di pasar. Ketika informasi yang tidak akurat beredar, harga saham dapat dipengaruhi dengan sangat cepat, dan investor harus waspada terhadap implikasi jangka panjang dari fluktuasi ini.
Mbroker dan Investasi Ritel dalam Saham
Fenomena peningkatan minat investasi oleh ritel di saham DADA adalah salah satu bukti nyata dari meningkatnya partisipasi publik dalam pasar modal. Ini diiringi dengan akses informasi dan teknologi yang lebih baik, yang membuat pasar saham menjadi lebih demokratif. Namun, ini juga menimbulkan risiko tersendiri, mengingat keputusan yang diambil seringkali dipengaruhi oleh emosi dan informasi yang tidak lengkap.
Investor ritel sering kali terjebak dalam siklus panik atau euforia, yang dapat mengakibatkan kerugian. Dengan dominasi proporsi saham DADA di tangan ritel, ada kekhawatiran bahwa pasar dapat menjadi lebih rentan terhadap tindakan spekulatif. Investor perlu memiliki strategi yang lebih bijaksana dalam menghadapi ketidakpastian pasar.
Penting bagi investor untuk tidak hanya terfokus pada pergerakan harga jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan fundamental perusahaan dan proyeksi jangka panjang. Proses analisis yang saksama harus dilakukan untuk memastikan keputusan investasi yang lebih tulus dan tidak terpengaruh oleh rumor.
