Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini menjadi isu yang mengkhawatirkan bagi kalangan pengusaha. Saat ini, tekanan pada nilai tukar di atas Rp 16.700 dapat berimbas langsung pada kenaikan harga barang dan jasa, sehingga membuat banyak pelaku usaha merasa cemas dengan kondisi ini.
Pada akhir perdagangan Jumat (26/9/2025), rupiah ditutup di level Rp 16.725 per USD, mengalami sedikit penguatan sebesar 0,06%. Meskipun ada penguatan ini, tren melemahnya rupiah tetap berlanjut selama enam hari berturut-turut, menambah kekhawatiran di kalangan sektor bisnis.
Carmelita Hartoto, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, menekankan bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah terus dipantau pengusaha. Kenaikan signifikan pada nilai tukar dapat berdampak langsung pada harga jual berbagai komoditas dan jasa ke depannya.
Tinjauan Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Barang
Kekhawatiran yang ada mengindikasikan bahwa kondisi ini akan berpengaruh langsung terhadap harga jual, baik produk maupun jasa. Carmelita menjelaskan bahwa tekanan pada kurs bisa memengaruhi industri pelayaran yang sangat bergantung pada bahan baku impor, seperti suku cadang kapal.
Menurutnya, setiap kali rupiah melemah, biaya modal untuk industri pelayaran meningkat. Hal ini, pada gilirannya, akan menyebabkan kenaikan biaya untuk layanan pengangkutan barang, yang pada akhirnya memengaruhi harga barang yang sampai ke konsumen.
Dalam industri yang sangat bergantung pada impor tersebut, fluktuasi nilai tukar menjadi tantangan besar. Dengan pelayaran yang berperan penting dalam logistik global, dampaknya dapat meluas ke berbagai sektor lainnya, menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Pengaruh Kondisi Ekonomi Global Terhadap Stabilitas Rupiah
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menambahkan bahwa sekitar 70-90% bahan baku untuk manufaktur saat ini berasal dari impor. Ini berarti bahwa setiap penurunan nilai tukar akan segera berimbas pada kenaikan biaya produksi.
Shinta menekankan bahwa pelemahan rupiah berpotensi menurunkan daya saing produk nasional. Tekanan ini muncul bukan hanya sebagai isu angka di pasar, melainkan sebagai masalah yang menyentuh langsung pada operasional industri.
Contoh yang diungkapkan mencakup industri tekstil yang sangat bergantung pada bahan baku impor seperti kapas dan serat sintetis. Kenaikan biaya pada sektor ini telah menjadi tantangan berkelanjutan bagi pengusaha, dengan tidak semua pelaku usaha dapat langsung meneruskan biaya tambahan tersebut ke konsumen.
Kebijakan Makro untuk Mengelola Stabilisasi Nilai Tukar
Situasi ini menunjukkan pentingnya tindakan yang solid dari pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengendalikan nilai tukar. Shinta menekankan bahwa kebijakan makro yang tepat diperlukan agar stabilitas rupiah dapat dijaga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
APINDO menekankan perlunya sinergi antara kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Selain itu, mereka mengajukan beberapa catatan penting untuk mengatasi masalah yang ada saat ini.
Beberapa langkah yang disarankan termasuk meningkatkan fundamental ekonomi, menjaga keseimbangan antara kepentingan ekspor dan perlindungan untuk konsumen domestik, serta mendorong diversifikasi sumber bahan baku untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Juga, penting bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan terkait impor dan ekspor telah disesuaikan agar kebutuhan domestik dapat terpenuhi. Kebijakan yang lebih menarik dalam bentuk insentif untuk devisa hasil ekspor juga diharapkan dapat membuat lebih banyak dolar masuk ke dalam negeri.
Stabilitas nilai tukar bukan hanya menjadi fokus jangka pendek tetapi juga memerlukan strategi jangka menengah yang dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Konsistensi kebijakan menjadi kunci dalam menjaga optimisme pelaku usaha di tengah ketidakpastian yang ada.
Dengan menjaga komunikasi dan koordinasi antara pemerintah dan dunia usaha, diharapkan langkah-langkah ini dapat memberikan harapan baru dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.