Sektor kuliner di Singapura kini menghadapi tantangan berat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan banyaknya papan “For Rent” dan “Closed” yang bertebaran, fenomena ini menjadi sorotan utama di tengah biaya hidup yang meningkat dan penurunan daya beli masyarakat.
Perubahan ini bukan hanya sekedar fase sementara, melainkan menandakan krisis yang lebih dalam. Selama tahun lalu, lebih dari 3.000 bisnis makanan dan minuman terpaksa menghentikan operasional, menjadikannya sebagai tahun terburuk dalam dua dekade terakhir bagi industri ini.
Kenaikan biaya sewa, bersama dengan fluktuasi permintaan, telah membuat banyak restoran legendaris tak berdaya. Contohnya, Ka-Soh, sebuah restoran berusia 86 tahun, terpaksa menutup pintunya pada September lalu setelah menyajikan mangkuk sup ikan terakhirnya. Ini mencerminkan situasi darurat yang tak bisa diabaikan lagi.
Pemilik generasi ketiga Ka-Soh, Cedric Tang, mengungkapkan bahwa walaupun mereka telah berjuang keras, pada akhirnya mereka harus menyerah. Tekanan biaya yang terus meningkat telah membuat mereka tidak bisa lagi mempertahankan harga yang terjangkau bagi pelanggan setia.
Fenomena Penutupan Restoran Besar di Singapura
Gelombang penutupan ini menyentuh banyak restoran yang sudah berdiri selama puluhan tahun. Tercatat, sebanyak 320 restoran berhenti beroperasi pada Juli 2025 saja. Ini menjadi pertanda bahwa meskipun ada usaha untuk bertahan, banyak yang akhirnya terpaksa menyerah.
Restoran Burp Kitchen & Bar, yang selama ini menjadi favorit keluarga, juga mencatatkan penutupan. Penutupan restoran-restoran ini menambahkan berat hati bagi masyarakat yang telah menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari.
Chua Ee Chien, seorang mantan pemilik restoran, menunjuk pada fakta bahwa bahkan restoran yang masuk dalam panduan Michelin pun tidak bisa bertahan. Ini adalah cerminan nyata dari situasi sulit yang dihadapi seluruh sektor kuliner saat ini.
Dampak Biaya Sewa yang Meningkat pada Usaha Makanan
Kenaikan biaya sewa menjadi faktor utama yang menghantui banyak pemilik restoran. Banyak penyewa melaporkan adanya kenaikan sewa hingga 49 persen, yang menjadi pukulan telak bagi keberlangsungan usaha mereka.
Menurut Terence Yow, ketua Singapore Tenants United for Fairness, lonjakan ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam 15 hingga 20 tahun terakhir. Apa yang terlihat sebagai keserakahan pemilik properti, sebenarnya adalah hasil dari tekanannya yang meningkat terhadap biaya operasional.
Berdasarkan analisis, biaya konstruksi dan pemeliharaan juga melonjak secara signifikan, sehingga banyak pemilik bisnis yang terpaksa menyesuaikan model bisnis mereka untuk tetap bertahan dalam kondisi sulit ini.
Perburuan Tenaga Kerja dan Permintaan Pasar yang Melemah
Kenaikan biaya tenaga kerja bersamaan dengan melemahnya permintaan menjadi tantangan besar bagi restoran kecil. Dengan sekumpulan restoran besar yang mampu menawarkan gaji tinggi demi menarik staf berkualitas, usaha kecil sering kali terjebak dalam situasi sulit.
Asosiasi Restoran Singapura telah memperingatkan akan krisis tenaga kerja sejak awal tahun. Namun, pemerintah mengamati bahwa keadaan ini juga disebabkan oleh kelebihan pasokan restoran di pasar.
Meski terdapat penutupan signifikan, pada saat yang sama, hampir 3.800 gerai baru juga dibuka. Ini menambah kompleksitas atas masalah yang ada, dimana jaringan besar semakin mendominasi pasar dan membuat usaha kecil kesulitan untuk bersaing.
Mengadopsi Strategi Digital di Era Media Sosial
Dalam situasi sulit ini, pelaku usaha mulai beralih ke media sosial untuk menarik pelanggan. Menurut survei, lebih dari separuh warga Singapura menggunakan media sosial untuk menemukan restoran baru, yang membuka peluang baru bagi bisnis.
Pemilik Marie’s Lapis Cafe, Christopher Lim, bahkan menjual rumahnya demi mempertahankan bisnisnya. Dengan bantuan konsultan digital, ia berhasil meningkatkan omset kafe hingga 40 persen dalam waktu singkat, menunjukkan bahwa adaptasi digital dapat memberikan angin segar bagi usaha yang terpuruk.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa ketergantungan pada popularitas online tidak cukup untuk mengatasi masalah struktural yang lebih dalam. Ini menghasilkan panggilan dari anggota parlemen agar kuota tenaga kerja asing dapat ditinjau ulang demi mendukung usaha kecil.
Kepedulian terhadap keberlanjutan usaha kecil menjadi fokus penting saat ini. Usaha-adaptasi seperti di Keng Eng Kee Seafood membuktikan bahwa teknologi dapat meningkatkan pengalaman pelanggan dan mengelola tingkat karyawan dengan lebih baik. Dalam menghadapi tantangan ini, dukungan untuk meningkatkan produktivitas dan batas sewa yang sesuai dengan inflasi dapat menjadi langkah penting bagi kelangsungan hidup sektor ini.
Akhirnya, keberlanjutan sektor kuliner di Singapura sangat bergantung pada bagaimana pelaku usaha, pemilik properti, dan pemerintah dapat berkolaborasi untuk menciptakan solusi yang saling menguntungkan. Jika semua pihak bersatu, harapan untuk memulihkan industri kuliner yang terkenal ini masih terbuka lebar.
