Kelas menengah di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks, terutama setelah dampak pandemi Covid-19. Penurunan jumlah dan kualitas hidup kelas menengah menjadi sorotan utama berbagai pihak, termasuk lembaga internasional seperti Bank Dunia.
Dalam laporan terbaru, terungkap bahwa kelas menengah Indonesia kini kian menurun dan terancam. Dari 57,33 juta orang pada tahun 2019, jumlahnya diperkirakan menyusut menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Fenomena ini meloncatkan pertanyaan mendasar mengenai faktor-faktor penyebab berkurangnya jumlah kelas menengah. Terutama pada aspek ketenagakerjaan yang membawa konsekuensi besar bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Memahami Dampak Pandemi Terhadap Kelas Menengah di Indonesia
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab utama penurunan kelas menengah. Banyak pekerja yang tidak dapat mempertahankan penghidupan yang layak, terutama yang bekerja di sektor-sektor dengan imbalan rendah. Ini menyebabkan semakin banyaknya orang yang beroperasi dalam ekonomi informal.
Dalam konteks ini, upah yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi standar hidup layak. Pekerja di sektor-sektor ini seringkali tidak memiliki stabilitas pekerjaan, sehingga bidang ini berkontribusi pada penurunan kualitas hidup secara menyeluruh.
Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa mayoritas lapangan kerja baru yang tercipta berada di sektor dengan upah minimum. Hal ini berimplikasi besar terhadap daya beli masyarakat kelas menengah yang terus merosot dan kalah bersaing dengan kelas atas maupun kelas bawah.
Persepsi Masalah Ketenagakerjaan dan Kualitas Hidup
Tingkat pengangguran yang meningkat menjadi salah satu indikator buruk dari perekonomian. Survei menunjukkan telah terjadi lonjakan pengangguran dengan angka mencapai angka yang signifikan pada tahun 2025. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan saat situasi ekonomi memburuk.
Di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan DKI Jakarta, dampak kehilangan pekerjaan dirasakan sangat parah. Sektor-sektor seperti tekstil, sepatu, dan elektronik menghadapi tantangan besar, dengan banyak perusahaan yang terpaksa tutup.
Namun, bukan hanya sektor tidak formal yang terpengaruh. Pekerja di sektor formal juga merasakan dampak, dimana banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat tekanan ekonomi yang terus berlanjut.
Kelemahan dalam Struktur Pekerjaan dan Kelas Menengah
Sektor dengan produktivitas rendah menjadi masalah serius bagi tenagakerja Indonesia. Data menunjukkan bahwa sekitar 69% tenaga kerja masih terjebak dalam pekerjaan dengan nilai tambah minimal, seperti di sektor jasa dan perdagangan. Ini menunjukkan tantangan besar bagi rencana peningkatan pendapatan masyarakat.
Dengan hanya 10% yang bekerja di sektor produktivitas tinggi, jelas bahwa distribusi income yang tidak merata adalah masalah yang terus membayangi perkembangan ekonomi nasional. Hal ini memicu kekhawatiran tentang daya tahan kelas menengah ke depan.
Akurasi dalam penilaian kelas menengah juga menjadi semakin misterius, karena banyak individu kini berjuang untuk mencapai standar yang diperhitungkan sebagai kelas menengah. Pertanyaannya adalah, hingga kapan kondisi ini akan berlangsung sebelum menimbulkan ketidakstabilan sosial?