Di abad ke-14, sejarah mencatat kehadiran seorang raja yang kekayaannya dapat dibandingkan dengan angka fantastis, diperkirakan mencapai Rp8.000 triliun jika dihitung sebanding dengan nilai masa kini. Raja tersebut, bernama Mansa Musa, tidak hanya dikenal karena kekayaannya, tetapi juga karena pengaruhnya yang besar sebagai pemimpin yang religius dan banyak dihormati.
Mansa Musa berasal dari Dinasti Keita dan lahir sekitar tahun 1280 M. Diangkat menjadi raja pada tahun 1312 M, ia naik tahta setelah saudaranya Mansa Abu-Bakr meninggalkan kerajaan untuk melakukan petualangan laut yang besar.
Saudaranya, Abu-Bakr, dilaporkan terobsesi dengan Samudra Atlantik dan melakukan perjalanan dengan sekitar 2.000 kapal, membawa ribuan orang termasuk budak. Namun, ekspedisi tersebut tidak pernah kembali, membuat Musa menjadi penguasa kesembilan Kerajaan Mali yang sudah kaya raya pada waktu itu.
Pengaruh Mansa Musa di Wilayah Afrika Barat
Di bawah kepemimpinan Mansa Musa, Kerajaan Mali berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Diperkirakan bahwa pada saat itu, Mali menyuplai lebih dari separuh pasokan emas global, menjadikannya pusat perdagangan yang sangat penting.
Ekspansi perdagangan terjadi terutama melalui tambang garam dan cadangan emas yang melimpah. Wilayah kerajaan tersebut sangat luas, membentang lebih dari 3.000 kilometer, mencapai wilayah modern Niger, dan mencakup lebih dari 24 kota, termasuk Timbuktu yang terkenal.
Selain menjadi penguasa yang makmur, Musa juga dikenal sebagai jenderal yang tidak pernah kalah. Banyak daerah di bawah kepemimpinannya lebih suka bergabung dengan kerajaannya untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik dan lebih stabil.
Kekayaan dan Agama Mansa Musa yang Menginspirasi
Meskipun nilai kekayaannya saat ini sulit dihitung secara tepat, perkiraannya berkisar antara US$400 miliar hingga US$500 miliar. Sebagian besar kekayaan ini berasal dari tanah, emas, dan garam, yang menggambarkan bagaimana Mansa Musa memiliki kekayaan yang sulit dianalisis.
Ia juga seorang penganut Islam yang sangat berdedikasi dan melaksanakan ibadah haji pada tahun 1324-1325. Perjalanan hajinya dianggap sebagai salah satu yang paling megah dalam sejarah, menunjukkan komitmennya terhadap agama.
Bersama rombongan sekitar 60.000 orang, termasuk pejabat kerajaan dan pegawai, Musa menempuh perjalanan yang panjang sambil membawa unta yang mengangkut emas murni. Selama perjalanan melintasi Sahara dan Mesir, ia dikenal membagikan emas dalam jumlah besar, yang menyebabkan dampak ekonomi yang signifikan di daerah tersebut.
Transformasi Budaya dan Arsitektur di Kerajaannya
Setelah kembali dari haji, Mansa Musa berfokus pada pembangunan kembali kota-kota yang ada di kerajaannya. Ia sangat peduli dengan pemajuan arsitektur dan pendidikan, dan ini membawa perubahan besar bagi masyarakat Mali.
Ia bekerja sama dengan sarjana-sarjana Islam terkemuka, termasuk keturunan Nabi Muhammad dan arsitek terkenal dari Andalusia. Mereka memulai proyek pembangunan masjid, perpustakaan, dan institusi pendidikan yang menjadikan Timbuktu sebagai pusat belajar dan kebudayaan.
Kerajaan Mali di bawah kepemimpinannya bukan hanya makmur secara ekonomi, tetapi juga kaya akan budaya dan pengetahuan, membuatnya dihormati di seluruh dunia. Mansa Musa wafat pada tahun 1337 dalam usia 57 tahun, meninggalkan warisan yang tak terlupakan.
Musa digantikan oleh putranya, namun setelah beberapa generasi, kerajaan Mali mulai melemah dan akhirnya tergeser dari sejarah saat itu. Warisan seorang raja dengan kekayaan dan pengaruh yang luar biasa ini tetap dikenang hingga kini sebagai simbol kekuasaan dan kebijaksanaan.


