Kasus dugaan penipuan dan penggelapan uang melibatkan sebuah bank besar di Indonesia dengan kerugian mencapai Rp 30 miliar. Peristiwa ini terungkap ketika kuasa hukum dari pihak yang dirugikan, Benny Wullur, berbicara di hadapan Komisi III DPR RI pada sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Awalnya, Benny memaparkan bahwa kliennya, Kent Lisandi, terlibat dalam bisnis pengadaan barang yang mengharuskan dia mentransfer dana besar. Permintaan tersebut datang dari pihak lain yang saat itu berfungsi sebagai mitra bisnis Kent.
Kent awalnya ragu akan permintaan tersebut, tetapi manipulasi dari pihak lain membuatnya terpengaruh. Setelah mempertimbangkan, pada tanggal 11 November 2025, Kent akhirnya mentransfer dana talangan tersebut sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.
Dari Bisnis Pengadaan Hingga Penipuan Besar
Keterlibatan Kent dalam transaksi ini dimulai ketika ia diajak oleh seorang rekan bisnis bernama Rohmat Setiawan. Dalam konteks bisnis yang terlihat menggoda tersebut, Kent diminta untuk melakukan transfer dana yang cukup besar, yaitu Rp 30 miliar.
Pada saat itu, Kent mulai merasa tertekan karena sekitar empat kali ditawarkan untuk berpartisipasi. Pemain kunci dalam skenario ini adalah Aris Setyawan, yang menjabat sebagai kepala cabang bank tempat transaksi tersebut berlangsung.
Setelah memenuhi permintaan tersebut, Kent mendapatkan berbagai dokumen sebagai pengaman yang menyatakan haknya atas dana tersebut. Dalam pandangan Benny, semua ini seharusnya menjadi jaminan bahwa investasi Kent tidak akan menjadi sia-sia dan memberikan keuntungan yang diharapkan.
Kesulitan dalam Mencairkan Uang dan Alasan Bank
Setelah melakukan transfer, Kent menghadapi masalah pada saat mencoba mencairkan cek yang seharusnya senilai Rp 30 miliar. Permintaan pencairan cek yang diajukan ke pihak bank tidak berbuah hasil, membuat Kent sangat khawatir.
Pada tanggal jatuh tempo pencairan, semua harapan Kent seakan sirna ketika pihak bank menginformasikan bahwa cek tersebut tidak dapat dicairkan. Hal ini memicu rangkaian komunikasi antara Kent dan bank, yang akhirnya menciptakan ketidakpastian dan kebingungan.
Bank mengklaim bahwa dana tersebut telah dialokasikan ke dalam perjanjian kredit yang tidak diketahui oleh Kent sebelumnya. Hal ini memicu Benny untuk mempertanyakan keabsahan proses yang dilakukan oleh pihak bank dalam menerbitkan kredit tersebut.
Proses Hukum dan Tersangka yang Ditetapkan
Setelah berulang kali meminta penjelasan dan tidak mendapatkan kepastian, Benny memutuskan untuk mengambil tindakan hukum. Kasus ini kemudian naik ke meja hijau, meskipun hanya beberapa individu yang ditetapkan sebagai tersangka.
Pihak yang terlibat dalam dugaan penipuan ini adalah Aris dan Rohmat, namun Benny menganggap bahwa peran bank seharusnya juga menjadi sorotan. Dia meyakini bahwa institusi keuangan tersebut berkontribusi dalam kejadian yang merugikan kliennya.
Ada berbagai bukti yang dihadirkan dalam persidangan, di mana Benny menegaskan bahwa proses pencairan kredit patut dipertanyakan. Mengingat bahwa istri Rohmat yang menjadi penerima kredit juga tidak sepenuhnya memahami isi perjanjian yang ditandatanganinya.
Langkah Selanjutnya dan Permohonan kepada OJK
Menanggapi kasus yang berlangsung, Benny telah mengirimkan surat resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meminta penyelidikan lebih lanjut. Dia menekankan pentingnya penerapan prinsip 5C atau “Know Your Customer” yang harus dilakukan oleh bank untuk melindungi nasabah.
Benny berharap OJK dapat menemukan adanya pelanggaran yang merugikan masyarakat dalam kasus ini. Penegakan hukum yang tegas diharapkan mampu memberikan keadilan bagi Kent dan mencegah kejadian serupa terjadi di masa mendatang.
Belum ada tanggapan resmi dari pihak bank terkait tuduhan yang dilayangkan. Benny menekankan perlunya transparansi agar masyarakat dapat merasa aman dalam bertransaksi dengan institusi keuangan.