Kisah mengenai keberadaan merek rokok terkenal di Indonesia, Djarum, sebenarnya dimulai dari latar belakang yang tidak biasa. Pendiri Djarum, Oei Wie Gwan, tidak langsung terjun ke industri tembakau, melainkan memulai kariernya di bidang kembang api. Dengan pengalaman dari usaha kembang api cap Leo yang pernah diekspornya ke luar negeri, Oei merasakan betapa berisikonya bisnis ini.
Kisahnya menarik, terutama setelah sebuah insiden tragis terjadi pada tahun 1938 ketika pabrik kembang apinya di Rembang meledak, menyebabkan kematian lima pekerja. Peristiwa itu menjadi momen kunci yang mengubah arah hidupnya, menariknya keluar dari dunia kembang api dan memulai perjalanan baru di industri rokok.
Setelah situasi perang mereda, Oei memutuskan untuk beralih dari bisnis kembang api ke rokok. Pada tahun 1951, ia membeli pabrik rokok kecil bernama Djarum Gramophon di Kudus, yang kemudian menjadi fondasi bagi salah satu merek rokok paling dikenal di Indonesia saat ini.
Perubahan Besar dalam Karir Oei Wie Gwan
Perniagaan baru ini tidaklah mulus. Pada tahun 1963, pabrik Djarum mengalami kebakaran hebat yang mengancam kelangsungan usaha yang baru dirintisnya. Kebakaran ini bukan hanya menghabiskan beberapa aset, tetapi juga menciptakan krisis yang lebih besar setelah Oei Wie Gwan meninggal dunia, meninggalkan perusahaan dalam keadaan kritis.
Namun, keberanian dan tekad anak-anaknya menjadi titik balik dalam saga Djarum. Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono melanjutkan usaha keluarga dan tidak hanya menyelamatkan Djarum dari ambang kehancuran, tetapi juga membawanya ke level yang lebih tinggi. Keduanya berkomitmen untuk merevitalisasi pabrik dan meningkatkan kualitas produk.
Sejak tahun 1970-an, keduanya melakukan berbagai inovasi yang signifikan. Mereka membangun divisi penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk memperbaiki teknis produksi. Hasilnya, Djarum berhasil meluncurkan kretek berfilter pada tahun 1976, diikuti dengan peluncuran Djarum Super yang sukses pada tahun 1981.
Kudus: Pusat Kretek dan Bulutangkis Indonesia
Di bawah kepemimpinan generasi kedua, Kudus tidak hanya dikenal sebagai kota penghasil kretek, tetapi juga menjadi salah satu pusat bulutangkis di Indonesia. Dengan dukungan keluarga Hartono, PB Djarum didirikan, menghasilkan banyak atlet dan memberi dampak besar pada olahraga nasional.
Kesuksesan di industri rokok akhirnya mengangkat nama keluarga Oei Wie Gwan sebagai salah satu dinasti bisnis terbesar di Indonesia. Keberhasilan ini membuat mereka merambah ke berbagai sektor lain, seperti elektronik dengan merek Polytron, perkebunan melalui HPI Agro, hingga perdagangan elektronik yang dikenal sebagai Blibli.
Di sektor perbankan, mereka juga mengambil peran krusial dengan mengendalikan Bank Central Asia (BCA), yang merupakan bank swasta terbesar di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan bisnis keluarga Hartono dan dampaknya terhadap perekonomian Tanah Air.
Jejak Sejarah dan Relasi dalam Bisnis
Menarik untuk dicatat, hubungan lama antara pendiri BCA, Liem Sioe Liong, dan keluarga Oei juga menambah dimensi sejarah yang menarik. Keduanya diketahui telah bersahabat sejak lama dan saling mendukung dalam perkembangan usaha masing-masing. Hal ini semakin memperkuat jaringan bisnis di antara para pengusaha di Indonesia.
Dari dunia kembang api hingga merokok, perjalanan Oei Wie Gwan adalah contoh nyata tentang bagaimana keberanian untuk merubah arah dan berinovasi dapat menciptakan peluang baru. Kisahnya adalah sebuah narasi yang mencerminkan nilai-nilai ketekunan dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan.
Industri rokok dan bisnis keluarga Hartono tidak hanya menjadi pilar ekonomi Indonesia, tetapi juga menciptakan banyak lapangan pekerjaan serta dukungan terhadap olahraga. Melalui kontribusinya, hal ini turut membina generasi muda untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
