Jakarta, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini berhasil menangkap Adrian Gunadi, seorang buron dalam kasus gagal bayar perusahaan fintech peer to peer lending, PT Investree Radhika Jaya. Penangkapannya dilakukan setelah kerja sama maksimal antara OJK, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Interpol, menandakan bahwa penegakan hukum yang ketat berlanjut dalam sektor keuangan digital.
Adrian, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur di Investree, dituding melakukan praktik tanpa izin dan merugikan masyarakat. Dengan ancaman hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal sepuluh tahun, kasus ini mencerminkan masalah serius dalam pengawasan industri fintech di Indonesia.
OJK mengemukakan bahwa selama periode Januari 2022 hingga Maret 2024, Adrian terlibat dalam pengumpulan dana ilegal yang mencapai Rp2,7 triliun. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, yang menunjukkan pelanggaran serius terhadap hukum yang ada.
Detail Penangkapan dan Proses Hukum yang Terlibat
Penangkapannya dilakukan di bandara Soekarno-Hatta, dimana OJK mengumumkan bahwa kerjasama antar lembaga berperan penting dalam menangkap tersangka. Dalam proses hukum, penyidik OJK berkolaborasi dengan Kejaksaan Agung untuk menjerat Adrian berdasarkan berbagai undang-undang yang relevan.
OJK menjelaskan bahwa penetapan status tersangka dilakukan setelah Adrian diketahui berada di luar negeri, tepatnya di Doha, Qatar. Kerja sama antara OJK dan kepolisian serta lembaga terkait lainnya sangat crucial dalam menciptakan daftar pencarian orang (DPO) dan Red Notice.
Proses pemulangan Adrian dilaksanakan melalui mekanisme Interpol dan dukungan dari Kementerian Luar Negeri. Hal ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah Indonesia untuk menangani kasus kejahatan siber dan penipuan dalam industri keuangan.
Dasar Hukum dan Pelanggaran yang Diterapkan
Pelanggaran yang dilakukan oleh Adrian dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 46 jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan. Hal ini menandakan bahwa tindakan yang diambil OJK adalah berdasarkan regulasi yang jelas dan berlandaskan hukum yang berlaku.
OJK juga menyatakan bahwa rasio kredit macet di Investree sudah melebihi ambang batas yang ditentukan, yaitu 12,58% pada Januari 2024. Ini menunjukkan adanya pengawasan yang dinamis terhadap kinerja perusahaan fintech dalam operasional mereka.
Keputusan untuk memberhentikan Adrian dari posisinya sebagai direktur utama diambil oleh pemegang saham mayoritas setelah adanya dugaan pelanggaran tersebut. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam bungkus hukum yang lebih formal.
Dampak Bagi Pemangku Kepentingan dan Masyarakat
Dampak dari penangkapan ini tidak hanya dirasakan oleh Adrian, tetapi juga oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan tersebut. Investor dan pemangku kepentingan lainnya pastinya merasa khawatir dengan kenyataan bahwa perusahaan tempat mereka berinvestasi menghadapi masalah hukum yang cukup serius.
Masyarakat merasa semakin waspada terhadap fenomena fintech, terutama dalam hal pengelolaan dana dan kepatuhan hukum. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam memilih platform investasi.
Penyidikan lebih lanjut akan terus dilakukan oleh OJK dan Bareskrim Polri untuk menindaklanjuti laporan yang diterima dari korban yang dirugikan. Ini menjadi sinyal bahwa industri keuangan harus selalu diawasi dan dijaga agar tetap dalam koridor hukum yang berlaku.