Jakarta baru-baru ini mengalami pergerakan signifikan di pasar saham, yang menunjukkan dampak dari sejumlah faktor ekonomi global dan domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam pada akhir perdagangan, memberikan isyarat akan adanya ketidakstabilan di sektor keuangan.
Pada tanggal 25 September 2025, IHSG merosot lebih dari 1% pada penutupan, mengakhiri reli yang telah berlangsung selama dua hari. Jumlah saham yang turun mencapai angka 434, sedangkan hanya 242 saham yang mencatatkan kenaikan, dan sisanya, 123 saham, tidak mengalami perubahan.
Dalam konteks nilai transaksi, bursa mencatat volume yang cukup tinggi dengan total mencapai Rp 23,92 triliun. Total 52,52 miliar saham berpindah tangan dalam 2,68 juta transaksi, sementara kapitalisasi pasar mengalami penurunan menjadi Rp 14.783 triliun.
Penyebab Utama Penurunan IHSG dan Dampaknya
Analisis menunjukkan bahwa sejumlah sektor perdagangan melemah, dengan sektor barang baku, teknologi, dan finansial mengalami penurunan paling signifikan. Kinerja IHSG sepanjang periode ini terutama dipengaruhi oleh saham emiten besar yang menjadi penyumbang utama koreksi pada indeks.
Beberapa saham yang berkontribusi dominan terhadap penurunan ini adalah BBRI, BRPT, dan DCII, yang masing-masing memberikan kontribusi koreksi yang cukup besar. Hal ini mencerminkan betapa terintegrasinya kinerja emiten besar dengan indeks secara keseluruhan, sehingga fluktuasi mereka dapat membuat IHSG bergejolak.
Sementara di sisi lain, sektor konsumer primer dan properti menunjukkan kenaikan, kecuali bahwa penguatan ini tidak mampu menahan laju penurunan IHSG. Keberhasilan sektor-sektor tertentu menunjukkan adanya pergeseran minat investor yang dapat menjadi peluang di masa depan.
Dampak Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Pelemahan IHSG juga bertepatan dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada hari yang sama, nilai tukar rupiah terpantau melemah menjadi Rp 16.735 per dolar AS, mencatatkan penurunan yang signifikan dalam enam hari berturut-turut.
Ini menjadi perhatian tersendiri mengingat dampak jangka panjang dari nilai tukar yang tidak stabil dapat mengganggu kepercayaan investor. Sebelumnya, rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 16.755, yang menunjukkan adanya tekanan yang cukup besar dari pasar.
Penguatan indeks dolar AS turut berperan dalam melemahnya nilai rupiah, di mana pada pukul 15.00 WIB, indeks tersebut mencatatkan penguatan sekitar 0,01%. Sentimen pasar yang negatif dan keluarnya modal asing dari dalam negeri menambah kompleksitas situasi ini.
Sentimen Ekonomi Global sebagai Faktor Penentu
Sentimen internasional juga menjadi faktor yang sangat memengaruhi pergerakan pasar. Setelah pernyataan Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell, yang menyiratkan kehati-hatian dalam pemangkasan suku bunga di masa mendatang, pasar berangsur-angsur menginterpretasi hal itu sebagai sinyal buruk bagi stabilitas keuangan.
Risiko inflasi yang masih tinggi dan potensi pelemahan pasar tenaga kerja menjadi perhatian utama yang dapat mempengaruhi keputusan kebijakan moneter selanjutnya. Ini menambah ketidakpastian di pasar global, yang berimbas pada pasar domestik seperti IHSG.
Ekonom memprediksi bahwa arus keluar modal asing akan terus berlanjut selama ketidakpastian global masih ada. Menurut mereka, penguatan indeks dolar AS serta kondisi pasar yang kurang kondusif menjadi beberapa penyebab utama penyesuaian yang terjadi baik di pasar saham maupun nilai tukar.
Peluang dan Tantangan di Masa Depan bagi Investor
Dalam situasi seperti ini, investor dihadapkan pada pilihan sulit: tetap di pasar atau keluar untuk mengurangi risiko kerugian. Namun, bagi mereka yang berani mengambil risiko, ada peluang untuk berinvestasi pada saham-saham yang menunjukkan potensi pertumbuhan meskipun pasar sedang bergejolak.
Sektor-sektor yang menunjukkan ketahanan, seperti konsumer primer dan properti, bisa jadi tempat yang menarik untuk melihat kemungkinan pertumbuhan. Terlebih, adanya kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung dapat memberikan stimulus bagi perbaikan di sektor-sektor lain.
Di samping itu, jangka pendek hingga menengah bisa menjadi momen untuk melakukan analisis lebih dalam terhadap saham-saham yang tertekan. Evaluasi yang cermat dan pemahaman terhadap dinamika pasar dapat memberikan keuntungan yang signifikan saat pasar kembali pulih.